Slamet adalah masinis kereta yang bertabrakan tersebut. Tidak kurang dari 156 jiwa melayang dan sekitar 300 luka-luka.
TOPLESS - PURWOREJO - Pengabdian dengan penuh kesetiaan semestinya dihargai dengan penghargaan dan kepantasan hidup. Namun terkadang hidup bisa berbalik dengan drastis. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Demikianlah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan nasib yang dialami oleh Slamet Suradio (72), pengalaman manis sebagai karyawan teladan ternyata tidak menghindarkannya dari ketidakadilan.
Nama Slamet Suradio mungkin tidak lagi diingat banyak orang. Namun cobalah ingat tragedi terbesar dalam dunia perkeretaapian Indonesia, tragedi BIntaro 19 Oktober 1987. Slamet adalah masinis kereta yang bertabrakan tersebut. Tidak kurang dari 156 jiwa melayang dan sekitar 300 luka-luka. Apa kabar nasibnya kini?
Hari tua Slamet Suradio diisi dengan berjualan rokok eceran keliling di didepan suatu toko di kawasan perempatan Kalianyar, Kutoarjo. Tempat berjualannya ini berjarak sekitar 17 km dari rumahnya yang sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Semula dia berangkat ke tempatnya jualan ini dengan naik sepeda, namun dikarenakan penglihatannya sudah tidak jelas lagi akhirnya dia menggunakan angkutan umum untuk mengais rejeki di Kutoarjo.
"Sekarang saya naik angkutan umum kalau mau ke sini. Seringnya kernet bis baik hati, saya seharusnya bayar tiga ribu hanya ditarik seribu saja. Jadi saya pulang pergi hanya habis dua ribu," jelas Slamet, Rabu (18/7).
Siang itu Slamet terlihat diam di belakang meja lapak rokoknya yang hanya berisi sekitar 10 bungkus rokok. Untuk berjualan rokok, Slamet memang sering mengecerkan rokok kepada pembelinya yang sebagian besar adalah kernet bis, supir becak, dan pejalan kaki. Rupiah demi rupiah ia kumpulkan untuk menyambung hidup.
Nasib memang terlihat kejam untuknya. Pernah menyandang predikat sebagai masinis teladan, kini ia harus tercabik dari dunia kereta api yang telah digelutinya selama 32 tahun. Bahkan, sekedar uang pensiun pun tidak didapatnya. Semua itu karena suatu tragedi di pagi hari 19 Oktober 1987, kereta yang diawakinya bertabrakan head to head dengan kereta lain, tabrakan yang dinyatakan sebagai salah satu tabrakan terdahsyat di dunia perkeretaapian Indonesia.
Sebagai akibat kecelakaan tersebut, Slamet harus mendapatkan vonis kurungan selama lima tahun. Namun karena berkelakuan baik ia hanya menjalaninya selama 3,5 tahun. Selama ia dipenjara, nasib kembali tidak memihaknya ketika istri yang dicintai direbut rekannya.
Sekeluar dari penjara ia pun kembali bekerja di kereta api, walau hanya membantu di dipo. Selama ia bekerja ia tetap mendapatkan gaji walau hanya separuhnya. Namun nasib buruk kembali menimpanya ketika pada 1994 mendadak ia diberhentikan dengan tidak hormat oleh dirjen perkeretaapian. Akibatnya, uang pensiun yang seharusnya ia dapatkan kini lenyap.
"Saya kesalnya itu karena diberhentikan oleh dirjen. Saya kan kerja di PJKA, kenapa yang memberhentikan dirjen?" sergahnya. Ia pun menegaskan, dirinya sebenarnya hanya menjadi kambing hitam dalam kecelakaan tersebut. Sebagai masinis, ia hanya menjalankan perintah PPKA.
Dalam kejadian tersebut, Slamet memiliki bukti otentik bahwa ia tidak bersalah berupa selembar surat PTP. Selain itu, bukti lainnya menegaskan bahwa ia telah menuruti prosedur.
"Saya ingat jelas pagi itu kereta saya diberangkatkan. Saya melihat PPKA memberi tanda, asisten masinis telah naik ke kabin, dan kondekur pun telah masuk ke kereta," lanjut Slamet. Karena itu, ia kesal ketika tahu hanya dirinya saja yang dipecat dengan tidak hormat dan tidak mendapatkan uang pensiun, sementara orang yang menurutnya paling bertanggung jawab tetap mendapat uang pensiun.
Kini Slamet harus berjuang keras menghidupi keluarganya yang baru di Purworejo. Setelah menikah lagi ia memiliki tiga anak. Anak sulungnya yang baru saja lulus dari SMK telah bekerja di Banten, anak keduanya masih duduk di kelas 3 SMK, dan yang bungsu masih kelas 6 SD.
Memiliki anak yang masih sekolah tentu saja membuatnya kelabakan mencarikan biaya. Untung saja beberapa waktu yang lalu berbagai komunitas pecinta kereta api mengumpulkan dana untuk membantunya. Hasilnya, anak sulungnya kini telah lulus. Sekarang, ia hanya berpikir bagaimana biaya untuk kedua anaknya yang lain.
"Selain itu sekarang saya hanya berdoa, agar saya pada akhirnya mendapatkan keadilan. Uang pensiun yang menjadi hak saya, semoga saya dapatkan," pungkasnya.
Sementara itu, Kularsih (24) penjaga toko yang terasnya dipakai Slamet berjualan menyatakan, bahwa ia bersimpati pada apa yang dialami Slamet. Bahkan, ia semakin bresimpati karena Slamet sesekali membantunya. "Kalau saya sedang makan siang, Mbah Slamet bantu jagain toko," jelasnya.
Wakirun (45) seorang tukang becak yang sering membeli rokok Slamet menyatakan, ia prihatin dengan apa yang dialami Slamet. "Orang sudah mengabdi koq diprlakukan seperti itu. Harusnya beliau dihargai," ujarnya.(rento ari nugroho)
Sumber