skip to main |
skip to sidebar
Home
»
Alkisah
»
Kisah Mereka yang tak bisa Kembali ke Indonesia karena Stigma PKI
Unknown || Sabtu, 18 Agustus 2012 || Alkisah ||
TOPLESS - Mungkin banyak yang tak tahu, kisah anak-anak negri ini yang kuliah di Moskow tak bisa kembali ke Indonesia karena stigma PKI. Rezim orde baru tanpa pandang bulu memberi cap (terlibat PKI) kepada mereka. Berikut tulisan dari detiknews.com tentang sedikit kisah mereka.
Karena kehilangan status WNI, ada orang-orang yang hanya bisa merayakan HUT RI dari luar negeri. Mereka adalah mantan mahasiswa yang dikirim ke Moskow menjelang peristiwa 1965. Namun kecintaan mereka terhadap tanah air tidak pernah luntur.
Pada periode 1960-1965, pemerintah Orde Lama mengirim ratusan pemuda cemerlang Indonesia untuk belajar di Moskow, Uni Soviet. Ketika meletus peristiwa G30S pada 1965, mereka pun tercerai berai. Sebagian pulang, sementara mereka yang bertahan terstigmatisasi PKI, bahkan kehilangan status WNI karena paspor mereka dicabut oleh rezim Orde Baru dan tidak bisa pulang ke tanah air.
Seperti dikisahkan Tulus (69) kepada detikcom, di sela-sela perayaan HUT ke 64 RI di Wisma Indonesia, Berlin, Senin (17/8/2009). Impian Tulus saat muda hanya menuntut ilmu, tanpa mengerti kondisi politik saat itu yang memanas antara PKI dan TNI.
"Tapi saya ngga ngerti begituan, niat saya hanya ingin kuliah. Setelah itu pulang, ikut membangun tanah air," ujarnya.
Di Moskow, Tulus kuliah ekonomi, namun peristiwa G30S mengubah drastis semua mimpinya. Sebagian mahasiswa bergegas pulang. Tapi, Tulus dan banyak rekannya bertahan untuk menyelesaikan studi. Tulus menjadi sarjana pada 1967, namun dia sudah tidak mungkin kembali ke tanah air.
"Kita semua waktu itu kena cap (terlibat PKI-red). Paspor sudah dicabut, tapi untungnya di Moskow kita masih dianggap orang Indonesia," ujar pria asli Solo ini.
Dengan kondisi stateless (tanpa kewarganegaraan), Tulus pun terpaksa melanjutkan hidupnya dengan mencari pekerjaan di Moskow hingga 1977. Pada tahun itu, Tulus memutuskan hijrah ke Jerman Barat, tepatnya di Berlin Barat. Berlin Barat saat itu masih dalam penguasaan AS dan sekutunya di masa perang dingin.
"Kenapa Berlin Barat, karena statusnya yang khusus pada saat itu. Mereka menerima orang-orang tanpa status warga negara yang jelas seperti saya ini," paparnya.
Di Berlin Barat, Tulus akhirnya menikah dan berkeluarga. Tulus pun menjadi WN Jerman pada 1985. Menurutnya, itu adalah pilihan paling berat untuk melepaskan identitas Indonesia. Namun Tulus memerlukan status hukum yang jelas untuk keluarganya. Sementara KBRI dan Konsulat RI saat itu hanya melanjutkan kebijakan Soeharto yang menganggap Tulus dkk sebagai orang buangan.
"Saya memutuskan itu lama sekali. Saya masih cinta Indonesia. Di rumah, saya selalu menjaga kultur Indonesia, masakan Indonesia, musik keroncong ada semua," kata Tulus.
Angin perubahan mulai bertiup saat Reformasi 1998 bergulir. Lambat laun, pemerintahan baru semakin merangkul orang-orang semacam Tulus dan ada hubungan yang baik antara perwakilan RI di luar negeri dengan mereka. Sejak KBRI pindah dari Bonn ke Berlin pada 1999, Tulus pun kembali bisa merayakan HUT RI bersama-sama.
"Saya tahun lalu juara Karaoke, anak saya ikut lomba sepak bola," ujarnya bangga.
Tulus menyambut baik kebijakan pemerintah yang membuka kesempatan untuk kembali menjadi WNI melalui UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Namun bagi Tulus, hal itu sudah tidak penting lagi.
Dengan perjalanan panjang hidupnya, Tulus meyakini bahwa rasa kebangsaan tidak diukur dengan status WNI. Meski jauh di Jerman, Tulus tetap bisa menyalurkan kecintaannya terhadap budaya nasional dengan aktif dalam setiap pementasan Gamelan Jawa di Berlin.
"Tanpa status WNI pun, jangan dianggap kita tidak punya nasionalisme dan rasa kebangsaan. Sampai mati pun saya cinta Indonesia," pungkasnya. Saat bendera Merah Putih dikibarkan, Tulus pun khidmat memberi hormat.
sumber